Tragedi Kemanuasiaan Yang Pernah Terjadi Di Indoensia

Disebuah negara yang besar apalagi negara seperti indonesia yg memiliki banyak suku, banyak budaya dan banyak lagi lainya pasti tidak selalu aman dan damai, pasti ada konflik konflik didalamnya, konflik yang banyak memakan korban tentunya, mungkin article ini akan membangkitkan lagi ingatan kita semua, bukan bermaksud apa apa, bukan bermaksud untuk membuka luka lama dan dendam, tapi disini saya bermaksud untuk mengenang kembali sejarah itu dan menjadikan kedepanya lebih baik, sebagai bahan instropeksi dari kejadian itu, langsung saja ini tragedi kemanusiaan yang pernah terjadi di indonesia

Pembantaian Rawagede

Pembantaian Rawagede adalah peristiwa pembantaian penduduk Kampung Rawagede (sekarang terletak di Desa Balongsari, Rawamerta, Karawang), di antara Karawang dan Bekasi, oleh tentara Belanda pada tanggal 9 Desember 1947 sewaktu melancarkan agresi militer pertama.

Sejumlah 431 penduduk menjadi korban pembantaian ini. Ketika tentara Belanda menyerbu Bekasi, ribuan rakyat mengungsi ke arah Karawang.
Pertempuran kemudian berkobar di daerah antara Karawang dan Bekasi, mengakibatkan jatuhnya ratusan korban jiwa dari kalangan sipil. Pada tanggal 4 Oktober 1948, tentara Belanda melancarkan pembersihan.
Dalam peristiwa ini 35 orang penduduk Rawagede dibunuh tanpa alasan jelas. Peristiwa dikira menjadi inspirasi dari sajak terkenal Chairil Anwar berjudul Antara Karawang dan Bekasi, namun ternyata dugaan tersebut tidak terbukti.
Pada 14 September 2011, Pengadilan Den Haag menyatakan pemerintah Belanda harus bertanggung jawab dan membayar kompensasi bagi korban dan keluarganya

Pembantaian Westerling

Pembantaian Westerling adalah sebutan untuk peristiwa pembunuhan ribuan rakyat sipil di Sulawesi Selatan yang dilakukan oleh pasukan Belanda Depot Speciale Troepen pimpinan Raymond Pierre Paul Westerling. Peristiwa ini terjadi pada bulan Desember 1946-Februari 1947 selama operasi militer Counter Insurgency (penumpasan pemberontakan).

Berapa ribu rakyat Sulawesi Selatan yang menjadi korban keganasan tentara Belanda hingga kini tidak jelas. Tahun 1947, delegasi Republik Indonesia menyampaikan kepada Dewan Keamanan PBB, korban pembantaian terhadap penduduk, yang dilakukan oleh Kapten Raymond Westerling sejak bulan Desember 1946 di Sulawesi Selatan mencapai 40.000 jiwa.
Pemeriksaan Pemerintah Belanda tahun 1969 memperkirakan sekitar 3.000 rakyat Sulawesi tewas dibantai oleh Pasukan Khusus pimpinan Westerling, sedangkan Westerling sendiri mengatakan, bahwa korban akibat aksi yang dilakukan oleh pasukannya “hanya” 600 orang.

Perbuatan Westerling beserta pasukan khususnya dapat lolos dari tuntutan pelanggaran HAM Pengadilan Belanda karena sebenarnya aksi terornya yang dinamakan contra-guerilla, memperoleh izin dari Letnan Jenderal Spoor dan Wakil Gubernur Jenderal Dr. Hubertus Johannes van Mook. Jadi yang sebenarnya bertanggungjawab atas pembantaian rakyat Sulawesi Selatan adalah Pemerintah dan Angkatan Perang Belanda.
Pembantaian tentara Belanda di Sulawesi Selatan ini dapat dimasukkan ke dalam kategori kejahatan atas kemanusiaan (crimes against humanity), yang hingga sekarangpun dapat dimajukan ke pengadilan internasional, karena untuk pembantaian etnis (Genocide) dan crimes against humanity, tidak ada kadaluarsanya. Perlu diupayakan, peristiwa pembantaian ini dimajukan ke International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda.

Tragedi Mergosono

Tragedi Mergosono adalah sebuah tragedi kemanusiaan yang terjadi pada tanggal 31 Juli 1947 di kota Malang tepatnya di daerah Mergosono. Peristiwa ini ditandai dengan ditemukannya 30 mayat orang Tionghoa (laki-laki dan perempuan) di bekas pabrik pembuatan mi di Mergosono.
Tanda-tanda penyiksaan yang hebat sangat terlihat, karena semua korban disirami dengan bensin terlebih dahulu, lalu kemudian dibakar. Tuduhan yang dilontarkan kepada para korban adalah karena para korban bekerja sebagai mata-mata Belanda. Jenazah para korban baru dimakamkan secara massal pada tanggal 3 Agustus di tahun yang sama.

Pelaku perbuatan yang sangat keji ini diperkirakan dilakukan oleh pasukan tentara revolusioner. Selain korban jiwa, terdapat juga banyak kerugian materiil akibat penjarahan di kota Malang pada tanggal 22 dan 23 Juli 1947 (beberapa hari sebelum terjadinya tragedi) oleh massa yang sulit sekali untuk dikendalikan.

Pembantaian di Indonesia 1965–1966 ( Pembantaian Komunis )

Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-orang yang dituduh komunis di Indonesia pada masa setelah terjadinya Gerakan 30 September di Indonesia. Diperkirakan lebih dari setengah juta orang dibantai dan lebih dari satu juta orang dipenjara dalam peristiwa tersebut. Pembersihan ini merupakan peristiwa penting dalam masa transisi ke Orde Baru: Partai Komunis Indonesia (PKI) dihancurkan, pergolakan mengakibatkan jatuhnya presiden Soekarno, dan kekuasaan selanjutnya diserahkan kepada Soeharto.

Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui.Hanya ada sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu.

Angkatan bersenjata merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan di bawah “Demokrasi Terpimpin” dan oleh “Orde Baru” yang mengambil alih pada Oktober 1966.

Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto dan “Orde Baru” atas PKI dan “Orde Lama”.

Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang.

Pada 1966, Benedict Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985 mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orangSebagian besar sejarawan sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai,l ebih banyak dari peristiwa manapun dalam sejarah Indonesia.Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan bersenjata. Pembantaian dilakukan dengan cara “tatap muka”, tidak seperti proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa.

Penembakan misterius

Penembakan Misterius atau sering disingkat  Petrus (operasi clurit) adalah suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu.
Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah “petrus”, penembak misterius.

Petrus berawal dari operasi pe­nang­gulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto memberikan peng­har­gaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton Soedjarwo atas keber­ha­silan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat.
Pada Maret tahun yang sama, di hadap­an Rapim ABRI, Soehar­to meminta polisi dan ABRI mengambil lang­kah pemberantasan yang efektif me­ne­kan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang­­­opkamtib Laksamana Soedomo da­lam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja­ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Ja­ya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma­sing-masing kota dan provinsi lainnya

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di an­­taranya 15 orang tewas ditembak. Ta­hun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di an­taranya tewas ditembak. Para korban Pe­trus sendiri saat ditemukan masyarakat da­lam kondisi tangan dan lehernya te­ri­kat.

Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la­ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan pa­ra korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat ke­amanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang Dandim 0734 Letkol CZI M Hasbi (kini Wakil Ketua DPRD Jateng, red) sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).

Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup
Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pe­megang kekuasaan. Amnesti Internasional pun juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan pemerintah Indonesia ini.

Peristiwa Tanjung Priok

Peristiwa Tanjung Priok adalah peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta, Indonesia yang mengakibatkan sejumlah korban tewas dan luka-luka serta sejumlah gedung rusak terbakar.

Sekelompok massa melakukan defile sambil merusak sejumlah gedung dan akhirnya bentrok dengan aparat yang kemudian menembaki mereka. 
Setidaknya 9 orang tewas terbakar dalam kerusuhan tersebut dan 24 orang tewas oleh tindakan aparat Pada tahun 1985, sejumlah orang yang terlibat dalam defile tersebut diadili dengan tuduhan melakukan tindakan subversif, lalu pada tahun 2004 sejumlah aparat militer diadili dengan tuduhan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa tersebut

Insiden Dili

Insiden Santa Cruz (juga dikenal sebagai Pembantaian Santa Cruz) adalah penembakan pemrotes Timor Timur di kuburan Santa Cruz di ibu kota Dili pada 12 November 1991.
Para pemrotes, kebanyakan mahasiswa, mengadakan aksi protes mereka terhadap pemerintahan Indonesia pada penguburan rekan mereka, SebastiĆ£o Gomes, yang ditembak mati oleh pasukan Indonesia sebulan sebelumnya.

Para mahasiswa telah mengantisipasi kedatangan delegasi parlemen dari Portugal, yang masih diakui oleh PBB secara legal sebagai penguasa administrasi Timor Timur.

Rencana ini dibatalkan setelah Jakarta keberatan karena hadirnya Jill Joleffe sebagai anggota delegasi itu. Joleffe adalah seorang wartawan Australia yang dipandang mendukung gerakan kemerdekaan Fretilin.
Dalam prosesi pemakaman, para mahasiswa menggelar spanduk untuk penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan, menampilkan gambar pemimpin kemerdekaan Xanana Gusmao. Pada saat prosesi tersebut memasuki kuburan, pasukan Indonesia mulai menembak.

Dari orang-orang yang berdemonstrasi di kuburan, 271 tewas, 382 terluka, dan 250 menghilang. Salah satu yang meninggal adalah seorang warga Selandia Baru, Kamal Bamadhaj, seorang pelajar ilmu politik dan aktivis HAM berbasis di Australia.
Kejadian ini kini diperingati sebagai Hari Pemuda oleh negara Timor Leste yang merdeka.

Tragedi 12 November ini dikenang oleh bangsa Timor Leste sebagai salah satu hari yang paling berdarah dalam sejarah mereka, yang memberikan perhatian internasional bagi perjuangan mereka untuk merebut kemerdekaan.

Tragedi Trisakti

Tragedi Trisakti adalah peristiwa penembakan, pada 12 Mei 1998, terhadap mahasiswa pada saat demonstrasi menuntut Soeharto turun dari jabatannya. Kejadian ini menewaskan empat mahasiswa Universitas Trisakti di Jakarta, Indonesia serta puluhan lainnya luka.
Mereka yang tewas adalah Elang Mulia Lesmana, Heri Hertanto, Hafidin Royan, dan Hendriawan Sie. Mereka tewas tertembak di dalam kampus, terkena peluru tajam di tempat-tempat vital seperti kepala, leher, dan dada.
tidak banyak yg perlu saya jelaskan karena disini kebanyakan sudah pada tau asal usul dan sejarahnya

Tragedi Semanggi

ragedi Semanggi menunjuk kepada dua kejadian protes masyarakat terhadap pelaksanaan dan agenda Sidang Istimewa yang mengakibatkan tewasnya warga sipil.

Kejadian pertama dikenal dengan Tragedi Semanggi I terjadi pada 11-13 November 1998, masa pemerintah transisi Indonesia, yang menyebabkan tewasnya 17 warga sipil. Kejadian kedua dikenal dengan Tragedi Semanggi II terjadi pada 24 September 1999 yang menyebabkan tewasnya seorang mahasiswa dan sebelas orang lainnya di seluruh jakarta serta menyebabkan 217 korban luka – luka
Selain di Jakarta, pada aksi penolakan UU PKB ini korban juga berjatuhan di Lampung dan Palembang.

Pada Tragedi Lampung 28 September 1999, 2 orang mahasiswa Universitas Lampung, Muhammad Yusuf Rizal dan Saidatul Fitriah, tewas tertembak di depan Koramil Kedaton.
Di Palembang, 5 Oktober 1999, Meyer Ardiansyah (Universitas IBA Palembang) tewas karena tertusuk di depan Markas Kodam II/Sriwijaya.

Comments

Popular posts from this blog

Hud-Hud, Burung Unik Yang Menyerang Musuh Dengan Cara Menyemprotkan Kotorannya

Ilmuwan Temukan Jenis Baru Katak Terkecil di Dunia

Keren, Desa Ini Memiliki Sungai Keramik